Sejarah industri rekaman di Indonesia bisa dibilang berawal dari 2 tempat: “Lokananta” di Surakarta dan “Irama” di Menteng Jakarta. ‘Lokananta’ milik pemerintah, dan banyak melahirkan lagu-lagu daerah, sementara ‘Irama’ milik Mas Yos, banyak melahirkan lagu-lagu hiburan sebutan untuk lagu pop sekarang.
Nama-nama Rachmat Kartolo, Nien Lesmana, sampai Patty Sisters pernah rekaman di ‘Irama’ yang awalnya hanya sebuah studio kecil di sebuah garasi di Menteng, Jakarta Pusat. Peristiwa rekaman itu terjadi di ujung tahun 1950-an hingga memasuki tahun 1960-an.
Lalu, memasuki awal tahun 1970-an, di daerah Bandengan Selatan Jakarta Kota, berdiri studio rekaman “Dimita” yang dikomandani oleh Dick Tamimi. Studio rekaman ini juga menjadi pioneer rekaman lagu-lagu pop, karena di tempat ini nama-nama tenar Koes Bersaudara, Panbers, Dara Puspita, Rasela, lahir. Sampai dengan tahun 1975 “Dimita” tetap berjaya, bahkan dengan keunikannya: musisi harus berjuang memburu jangkrik, atau rekaman harus break karena ada kereta api lewat. Ini tentu gara-gara akustik studio tidak memadai, sementara teknologi rekaman pun masih mengandalkan jumlah track yang kecil: 8 tracks. “Dimita” memang terletak di pinggir rel kereta api. ‘Kecelakaan’ ini menyebabkan, begitu lamanya proses rekaman dilakukan. Jika jaman sekarang satu shift dihitung antara 7 atau 8 jam, jaman dulu kala produser rekaman agak membiarkan artisnya berkreasi. Sebab, dari tahun 50-an hingga pertengahan tahun 70-an, studio rekaman tak ada yang disewakan pemilik studio adalah eksekutif produsernya sendiri.
Perkara berburu jangkrik misalnya. Kamu bakal kaget mendengar cerita Benny Panjaitan, gitaris dan komposer Panbers, tatkala merekam album perdananya di “Dimita”, berkali-kali harus mencari jangkrik yang mengganggu konsentrasinya bernyanyi pada saat vokalis Panbers ini harus take vokal.
Dick Tamimi dan Mas Yos adalah nama-nama pioneer pemilik studio rekaman. Setelah itu muncul raja studio rekaman Indonesia, dan kelak dianggap sebagai produser legendaris yang menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia, yakni Yamin Wijaya atau biasa disebut Amin Cengli yang memiliki studio rekaman “Metropolitan” kini “Musica Studio’s” dan satunya lagi adalah Eugene Timothy yang mengomandani perusahaan rekaman “Remaco”. “Remaco” pernah menjadi perusahaan rekaman terbesar di Indonesia, dengan akses kuat ke pergaulan di dunia rekaman Internasional, karena pada saat membuat Piringan Hitam ( PH ), Studio seperti Irama, Lokananta, dan Dimita, Remaco masih memakai perusahan pembuat matris pencetak PH di Singapura.
Di Remaco, lahir nama-nama besar Bimbo, D’Lloyds, The Mercy’s dan kelak Koes Bersaudara yang pada tahun 1967 berubah nama menjadi Koes Plus pun pindah ke tempat ini, karena iming-iming bonus Mercy terbaru untuk komposernya, Tony Koeswoyo. Sementara itu, Amin Cengli banyak mengandalkan pertemanan, antara lain merekam kawannya sendiri, album pop jazz Ireng Maulana. Namun, kelak “Metropolitan” menjadi perusahaan rekaman besar dengan nama baru “Musica Studio’s”, dan tatkala Amin meninggal dunia semua aset keluarga dan kerajaan bisnis studionya diserahkan pada adik-adiknya, antaralain Indrawati Wijaya (Acin), Acu Wijaya dan adik-adiknya yang lain.
Tatkala “Remaco” ambruk pada awal tahun 80-an dan Eugene tinggal mengandalkan sejumlah master rekaman yang masih dimilikinya, baik sejak di era rekaman PH maupun kaset rekaman, Musica ganti menunjukkan dominasinya. Di tempat ini diterapkan sistem rekam yang banyak mengandalkan insting humanisme. Dengan cara-cara ‘persaudaraan-pertemanan’, banyak sekali artis musisi yang mampu bertahan lama, dikontrak jangka panjang oleh “Musica”. Sebagai contoh nama Chrisye, lebih dari 80% karier rekamannya yang dimulai dari jaman album solo Sabda Alam (1978) sampai album Badai Pasti Berlalu (1999), direkam ’sebagian besar’ di Musica. Sebelumnya, bersekutu dengan Eros Djarot, Debbie Nasution, Odink, Ronny Harahap, Guruh Soekarno, Gauri Nasution juga Kompiang Raka yang membawa musisi pentatonik Bali.
Chrisye dan Berlian Hutauruk merekam album Guruh Gipsy di studio Tri Angkasa yang ‘hanya’ 16 tracks di Kebayoran Baru. Rekaman yang disebut terakhir inilah sebenarnya embrio lahirnya album paramusisi ‘gedongan’, yang melahirkan album monumental Badai Pasti Berlalu, juga album Jurang Pemisah yang digarap Jockie Suryoprayogo. ( 1976 ).
0 komentar:
Posting Komentar